Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A.,  Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern

Halalkah Transaksi Kita?

This entry is part [part not set] of 19 in the series FiqhMuamalat

Diterbitkan pada -- 25 Januari 2021 @ 18:37

┏📜 🍃━━━━━━━━┓
📣 ITTIBA Mengaji
┗━━━━━━━━📜 🍃┛

Halalkah Transaksi Kita?
📖 Syarah Kitab Fiqih Perbankan Syariah, Pengantar Fiqih Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern karya Dr Yusuf Al Subaily
👤Ustadz Dr Erwandi Tarmizi MA
🗓️ 10 Oktober 2020 | 22 Safar 1442H

Muqadimah

Mempelajari fiqih muamalah merupakan bagian kecil dari mempelajari agama Allah yang sangat diperlukan karena seorang muslim tidak mungkin terlepas dari transaksi muamalah mulai dari bangun hingga ia tidur.

Hal ini juga telah disampaikan oleh ulama di masa silam.

Dalam HR Riwayat Abu Daud, Umar Ibnu Khattab pernah melakukan kunjungan ke pasar dan berkata

‎لَا يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ
“Tidak boleh berjualan di pasar kita kecuali orang yang memiliki pemahaman (fiqih) dalam urusan agama”

Hal ini dimaknai bahwa tidak boleh berdagang di pasar ini penjual dan juga pembeli kecuali orang yang paham akan tentang fiqih muamalah.

Ali bin Abi Tholib juga mengatakan,
‎مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

Hal ini dimaknai bahwa siapa pun orang yang berdagang atau berniaga namun belum memahami syariat Allah, niscaya dia akan bersentuhan dengan riba.

Di masa khalifah setelahnya, Khalifah Harun Ar Rasyid meminta Imam Malik untuk masuk ke pasar Madinah dan menguji para pedagang mengenai perkara riba, bila mereka tidak dapat menjawabnya maka orang tersebut disuruh keluar dari pasar untuk belajar mengenai syariat baru kemudian dia boleh berdagang.

Kewajiban belajar syariat menjadi syarat karena bila pedagang tidak mengerti mana yang halal mana yang haram, maka pasti darinya akan masuk riba pada manusia. Dan bila terjadi, maka akan membuat riba tersebut makin besar dan banyak di masyarakat sehingga masyarakat tidak mampu lagi menghindarinya.

Bila riba jamak ditemukan di suatu masyarakat, maka hal ini akan mengundang azab Allah. Oleh karena itu wajib, bagi seorang muslim untuk memahami ketentuan yang disyariatkan Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah dan telah dirincikan oleh ulama setiap mahzab. Hal ini menjelaskan bahwa ketentuan memahami syariat ini sebenarnya sudah disampaikan, namun saat ini kaum muslimin memang kita temukan jauh dari syariat Allah.

Oleh karena itu agar bisa keluar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menjaga diri kita dari kemurkaan Allah, maka mempelajari fiqih muamalah merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim.

Fiqih Muamalah – Definisi Bai’ (Jual Beli)

Definisi bai’ terbagi dua yaitu secara bahasa dan secara terminologi.

Secara bahasa bai’ berasal dari kata baa yang artinya depa. Hubungan arti kata tersebut dengan jual beli adalah bahwa yang melakukan transaksi jual beli maka dia akan mengulurkan depanya.

Sebagai contoh: transaksi antara pemilik beras dengan pemilik ikan, dimana pemilik beras akan menyerahkan berasnya dan pemilik ikan akan menyerahkan ikannya.

Secara terminologi bai’ dapat diartikan sebagai tukar menukar harta dengan harta, termasuk walau dalam tangguhan. Harta yang di tangan anda diserahkan pada orang lain dan orang tersebut menyerahkan hartanya pada anda melalui akad. Akad bertujuan untuk melakuan pengikatan jual beli, yang artinya terjadi perpindahan kepemilikan setelah terjadinya akad.

Sebagai contoh: terjadi transaksi jual beli telur dan kemudian setelah terjadi akad telur tersebut pecah pada saat masih di dalam toko, dalam kondisi ini maka resiko akan menjadi tanggungan pemiliknya setelah terjadinya akad.

Soal Jawab

1️⃣Halalkah memasarkan produk makanan lewat aplikasi go food dan sejenisnya?

✍️ Jawab:
Terdapat syarat dan ketentuan pada saat memasarkan produk lewat aplikasi tersebut yang perlu dirincikan agar dapat diketahui hukumnya. Pada dasarnya dalam transaksi muamalah bila tidak ada yang haram, maka hukum asalnya adalah halal.

2️⃣Bagaimana uang DP (down payment/uang muka) yang diterima penjual dari seorang pembeli. Apakah uang DP tersebut boleh dimanfaatkan? Dan apabila di kemudian hari terjadi pembatalan akad, apakah DP tersebut harus dikembalikan?

✍️ Jawab:
DP adalah uang yang dibayar pada saat transaksi untuk pembayaran awal. Artinya pada saat pembayaran DP sudah dilakukan akad jual beli. Dengan demikian, terdapat konsekuensi barang yang diterima tersebut memiliki resiko untung atau rugi yang mana resiko tersebut menjadi tanggungan pembeli.

Bila di kemudian hari pembeli ingin membatalkan, maka harus dengan persetujuan pihak penjual. Jika penjual setuju untuk dibatalkan, maka akad boleh dibatalkan. Dan jika penjual setuju uang DP dikembalikan, maka yang demikian pun diperbolehkan.

Tetapi jika dilihat dari hukum setelah dilakukan akad, maka DP merupakan hak penjual. Uang ini halal untuk dipakai untuk kepentingan penjual. Bila kemudian pembeli membatalkan akad, maka tidak ada hak pembeli untuk meminta DP tersebut, kecuali penjual ridho memberikannya yang artinya penjual bersedekah sesuai jumlah tersebut.

Dengan demikian, artinya DP boleh hangus dan boleh hilang. Hal ini menurut ulama mahzab Hambali berdasarkan Umar bin Khatab pada saat beliau menjadi Khalifah dimana beliau meminta gubernur beliau untuk membeli rumah Sofwan bin Umayyah sebagai rumah tahanan untuk orang yang berhutang saat membeli barang dengan tidak tunai dan orang tersebut tidak mampu membayar.

Rasulullah bersabda:
‎ﻟَﻲُّ ﺍﻟْﻮَﺍﺟِﺪِ ﻳُﺤِﻞُّ ﻋِﺮْﺿَﻪُ ﻭَﻋُﻘُﻮﺑَﺘَﻪُ
“Orang yang menunda kewajiban halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud).

Orang yang mampu tapi dia menunda-nunda kewajibannya pada orang lain, maka halal baginya dicemarkan nama baiknya dan disampaikan ke orang lain dan halal diberi sanksi penjara.

Bolehnya DP hangus atau hilang ini yang juga menjadi keputusan lembaga fiqih internasional di bawah OKI.

Sementara referensi fiqih pada mahzab Syafii, bahwasannya DP tidak boleh hilang, karena ketika DP hilang maka akan terjadi gharar karena mengambil harta orang lain tanpa adanya imbalan. Akan tetapi pendapat ini tidak kuat dan tidak bisa dikatakan tidak ada imbalan karena pada saat melakukan akad dan pembayaran DP terdapat masa tunggu dari pembeli yang menyebabkan penjual tidak bisa menjualnya pada orang lain.

3️⃣Penanya memiliki usaha percetakan dimana customer dapat mencetak berbagai berbagai hal termasuk foto. Bagaimana hukumnya sebagai jasa percetakan bila mencetak foto tersebut?

✍️ Jawab:
Hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas

‎إِنَّ مِنْ أَشَدِّأَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابًا الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya, di antara penghuni neraka yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah para pelukis (gambar yang bernyawa).” (HR Bukhari dan Muslim).

Ibnu Abbas kemudian menyatakan jika ingin melukis, maka lukislah gambar yang tidak bernyawa. Berdasarkan hal tersebut, hukum melukis disepakati para ulama bahwa hal tersebut adalah haram. Hal ini karena melukis gambar bernyawa dianggap menandingi ciptaan Allah.

Sedangkan hukum foto, terdapat khilaf para ulama mengenai hukumnya. Foto tidak dimaksudkan untuk menandingi ciptaan Allah, karena dianggap serupa dengan hasil cermin yang kemudian diabadikan.

Sebagian ulama seperti Syeikh Al Ustaimin, beliau tidak mengharamkan foto kecuali yang secara kaidah bersifat haram seperti wanita yag tidak menutup aurat atau yang digunakan untuk kegunaan yang haram seperti dipajang. Sedangkan untuk disimpan atau untuk tanda pengenal maka hal ini diperbolehkan

 

✅Follow | 👍Like | 📌Subscribe | ⤴️Share
🎥 Youtube: youtube.com/c/ittibamengaji
📸 Instagram: instagram.com/ittibamengaji
📩 Telegram: t.me/ittibamengaji
🎙️ Twitter: twitter.com/ittibamengaji
💻 Facebook: facebook.com/ittibamengaji
🔊 Soundcloud: soundcloud.com/ittibamengaji

Series Navigation
Bagikan Catatan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *